Sabtu, 20 November 2010

SI KUMPIL


SI KUMPIL


         Satu jam lebih saya dan teman-teman berada pada warnet. Hampir setiap ada tugas dari bapak dan ibu guru dapat kami ambil dari Internet, apalagi sekarang pembelajaran di sekolah telah beralih pada pembelajaran berbasis ICT (Informatika Communication Technology)
         Kami merasa lega karena apa yang kami cari telah kami dapatkan. Bermacam tugas yang telah selesai kami dapatkan dari mengakses Internet. Rahmat, yang akrab kami panggil mamek mengajak saya dan teman-teman untuk beristirahat sebentar pada lobi warnet milik Bang Tohar.
            “Fan, ayo kita istirahat sebentar di lobi, kan hari belum terlalu sore!”. Ajak   Mamek.
            “Ok….. Mek, saya sangat setuju. Bagaimana dengan yang lain?”
            “Dul…, Ming…., ayo kita istirahat sebentar di lobi!”. Ajak Mamek kepada kedua teman kami yang ada di bilik sebelah.
         Sementara kami berempat asyik mengobrol di lobi warnet Bang Tohar, sambil menikmati makanan ringan yang telah kami beli dari penjaga warnet. Tiba-tiba dari lantai bawah ada yang datang dan mengucapkan salam kepada Bang Tohar. Sontak kami berempat ikut menoleh ke arah datangnya suara itu.
         Seorang bapak yang gagah , berpenampilan menarik, senyum yang Ramah, terus melangkah ke arah tempat duduk kami.
            “Selamat sore nak!. Lagi santai ya!”
            “Oo, ya Pak menikmati udara sore”. Jawab salah seorang teman saya.
            “Apakah kalian sedang menyelesaikan tugas sekolah?”. Tanya bapak itu sambil duduk di kursi di samping temanku mamek.
            “Oo..ya Pak, kebetulan sudah selesai”. Jawab mamek.
Tidak lama berselang, Bang Tohar datang dengan membawa satu botol teh sosro, tampaknya sudah di pesan Bapak itu, sewaktu tiba dari lantai bawah  tadi. Sambil meletakkan minuman itu, Bang Tohar mengenalkan kepada kami bahwa bapak itulah yang sebenarnya pemilik warnet ini. Bang Tohar hanya mendapat amanah untuk mengelolahnya.
         Karena kami sudah sangat akrab kepada Bang Tohar, penjaga warnet. Maka Bang Tohar mengenalkan bapak yang ada di hadapan kami itu bernama DR. Kumpilman. Beliau baru datang dari Jakarta. Memang satu bulan sekali beliau datang ke kota ini, untuk melihat sanak saudara yang ada di sini. Maklum sekali bahwa bapak ini adalah putra daerah di sini, saat kecilnya sekolah di kota ini juga. Sekarang beliau telah menjadi pejabat . Beliau menjadi kepala kantor Litbang pusat di ibu kota negara. Beliau orangnya sangat baik hati dan dermawan, Bang Tohar mengakhiri kata-kata mengenalkan bapak itu kepada kami.
         DR. Kumpilman, tersenyum sejenak, mendengar kata-kata perkenalan yang sangat detil tentang dirinya. Namun seketika itu pula DR. Kumpilman tercenung, tatapannya kosong, lurus ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang diingatnya.
            “Oh… Maaf ya nak! Sa..saya agak melamun”.
Kemudian cepat Bapak Kumpilman, memandang wajah kami satu-persatu, dengan tatapan bersahabat dan penuh keramahan.
            “Bapak teringat masa kecil Bapak dulu. Sewaktu masih di desa”
            “Tapi, bapak kan di besarkan di kota”. Timbal saya.
           “Oh… tidak nak! Saya kecilnya di desa dan sangat susah. Apakah anak-anak mau mendengarkan kisah saya dahulu?”. Tanya DR. Kumpilman.
            “Mau! Mau!” Kami berempat serempak menjawab.
            “Tetapi, apakah anak-anak tidak kesorean pulang?”. Tanya Bapak DR. Kumpilman.
            “Tidak Pak, sekarang baru pukul 16 lewat 10 menit”. Jawab Mingki.
            “Baiklah!”. DR. Kumpilman mulai bercerita.
         Waktu kecil saya di panggil “Si Kumpil”. Saya tinggal di sebuah desa terpencil, Trans Swakarsah. Penduduk desa saya hanya belasan KK. Tidak ada penerangan listrik, jalan menuju desa saya hanya jalan setapak. Sepi dan kiri-kanan jalan penuh dengan pepohonan yang rindang.
         Kalau saya berangkat sekolah memerlukan waktu 1,5 jam berjalan kaki. Waktu itu hanya saya sendiri yang nekat untuk sekolah, sedangkan teman-teman yang lain tidak mau, dengan alasan capek berjalan kaki. Lagi pula keadaan ekonomi kami tidak mendukung. Orang tua kami susah mencari uang.
         Jam istirahat di sekolah, teman-teman saya asyik menceritakan film-film kesayangan yang mereka tonton di layar televisi. Seperti Power Ranger, Kuga, Bat Man, Spiderman, Dragon Ball, dan masih banyak yang lain-lain. Saya hanya diam saja, karena tidak ada yang saya tonton. Waktu itu jangankah televisi, listrik pun di desa saya belum ada.
         Sambil pulang jalan kaki dari sekolah, saya selalu memikirkan cerita-cerita film kesayangan teman-teman di sekolah tadi. Anak seusia kami memang  sangat butuh tontonan, sekaligus hiburan. Karena hiburan merupakan salah satu kebutuhan dalam kehidupan.
         Tidak terasa saya sudah sampai pada persimpangan jalan menuju desa saya Trans Swakarsah. Pada perempatan itu ada warung yang cukup ramai pembelinya, warung Bang Ramadhan yang akrab kami panggil Bang Madan.
            “Baru pulang, Pil?”. Sapa Bang Madan.
            “Oh…ya, Bang!”. Jawabku
            “Duduklah dulu Pil, itu ada air minum di atas meja. Kok keringatnya banyak sekali?”
            “Ya Bang, maklum jalan kaki” Jawabku lagi.
Aku tuangkan segelas air putih, terus saya minum untuk melepas dahaga. Di ruang yang besar itu pula ada sebuah televisi yang di pasang Bang Madan sebagai tontonan umum. Sekaligus sebagai daya tarik kepada pembeli apalagi pada waktu malam hari.
            “Pil, kalau mau nonton malam minggu datang aja ke sini!”. Kata Bang Madan.
            “Ya, Bang. Terima kasih atas tawarannya!”
         Memang benar di warung Bang Madan banyak warga dan tetangga yang  menonton acara televisi. Maklum, tontonan pada zaman kecil saya masih sangat terbatas. Tidak seperti sekarang hampir setiap rumah sudah punya televisi. Bahkan ada yang dua atau tiga dalam satu rumah.
         Hampir sudah jadi acara rutin saya, apabila malam minggu saya berangkat ke warung Bang Madan, hanya untuk menonton televisi. Kecuali kalau cuaca kurang bersahabat. Di sekolah apabila teman-teman bercerita tentang film-film kesayangan mereka, saya juga sudah ikut mimbrung. Karena modal cerita saya pun sudah banyak.
         Kungfu Dragon adalah film idolaku. Sekali-kali ingin rasanya saya menonton film itu, tapi sayang tayangannya bukan pada malam minggu. Teman-teman saya bilang cobalah nonton malam Jum’at. Kungfu Dragon yang di bintangi oleh Jacky Can. Seorang bintang andalan dari negara Tirai Bambu. Tidak ada tandingannya.
         Pada siang itu cepat saya bereskan tugas-tugas saya. Memberi makan kambing, ayam, dan bebek adalah tugas rutin saya. Habis mandi saya siap untuk berangkat. Bapak dan ibu saya terheran-heran, mengapa Kumpil sore itu sangat ceria.
            “Pil, kamu mau ke mana? Tampaknya kamu mau pergi”. Tanya Bapakku.
            “Betul Pak, saya mau nonton televisi di warung Bang Madan”
            “Inikan malam Jum’at, bukan malam Minggu.”
            “Malam ini filmnya bagus sekali, saya mohon Bapak dan Ibu mengizinkan        saya” 
            “Siapa tahu turun hujan. Pil, lagian malam ini malam Jum’at Kliwon!”. Sambung Bapakku.
            “Sekali ini saja, Pak”. Jawabku. “Betul Pak, sekali ini saja!”
Lama Bapak dan Ibuku terdiam. Tetapi melihat keseriusan ku, walaupun dengan berat hati kedua orang tua saya mengizinkan.
         Setengah berlari saya melewati jalan setapak menuju warung Bang Madan. Tiba di sana orang lagi sepi. Tampak Bang Madan lagi duduk santai di atas kursi panjang, sambil menikmati rokok kreteknya, serta segelas kopi panas.
            “Selamat sore, Bang. Saya mau nonton.”
            “Silahkan…! Silahkan Pil, masuklah. Malam ini memang acaranya bagus.” Kata Bang Madan sambil memberikan kursi padaku.
Pengunjung warung mulai berdatangan. Acara demi acara televisi saya saksikan. Pukul 21.30 acara yang saya tunggu-tunggu di mulai. Memang benar action film laga itu sangat memukau. Baru beberapa menit tayangan film itu di mulai, cuaca agak mendung. Saya berharap mudah-mudahan tidak hujan!
         Semakin malam acara televisi semakin bagus. Tetapi sayang tik, tik, grimis di atap. Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan. Film semakin seru, hujan lebatpun turun. Bang Madan membesarkan volume televisinya agar masih bisa di dengar. Saya merapatkan kaki, karena terasa dingin di terpa angin.
         Hujan semakin lebat sangat mengganggu konsentrasi kami penonton, walaupun acara televisi semakin menarik. Begitu film kungfu yang saya tonton berakhir. Sebagian pengunjung, langsung pulang menerobos hujan. Saya dan beberapa penonton lainnya tetap bertahan. Hari sudah menunjukkan pukul 23.00 cuaca mulai pekat, kecuali ada sambaran kilat, yang di susul petir menggelegar.
         Saya tetap menunggu. Apabila hujan reda, saya akan langsung pulang. Pengunjung warung Bang Madan yang masih ada, satu-persatu mulai pulang ke rumah masing-masing. Mereka terpaksa menerobos hujan, dan tampak basah kuyup. Akhirnya tinggal saya berdua dengan Bang Madan.
            “Pil, kamu tidur di sini aja!” Kata Bang Madan.
            “Terima kasih Bang, saya mau pulang, besok saya harus sekolah”. Jawabku.
Jam dinding Bang Madan sudah menunjukkan pukul 24.00. hujan sudah berangsur reda. Bang Madan tampak membereskan warungnya. Saya bersiap mau pulang.
            “Permisi, Bang saya mau pulang”.
            “ Gak usah Pil, tidurlah di sini aja, entar hujan lagi”
            “Terima kasih Bang, saya harus pulang”.
            “Apa kamu berani? Tanya Bang Madan”
         Dengan langkah mirip sang jagoan Kungfu saya tinggalkan warung Bang Madan. Cuaca gelap dan udara dingin menusuk tubuhku. Dua tiga kali saya terpeleset dan hampir jatuh, jalan yang kulewati sangatlah licin. Kadang-kadang saya berjalan setengah merangkak. Karena tidak ada sinar sama sekali. Rerimbunan pohon menambah gelapnya malam.
         Belum setengah perjalanan menuju kampungku, perasaan takut mulai menghantuiku. Bulu kudukku berdiri, ada perasaan aneh. Nyaliku mulai ciut. Sayup-sayup ada suara berdebam di atas pohon besar. Saya tetap melanjutkan perjalanan menuju desaku. Kira-kira 10 meter di hadapan saya, di dahan yang rendah tampak bergoyang-goyang. Tepat di atas jalan yang akan saya lewati.
          Langkahku sempat terhenti, rasa takutku semakin menjadi-jadi. Kemudian saya lanjutan perjalanan. Baru beberapa langkah ke depan di atas pohon nangka yang besar ada suara ber- DEHEM serak seperti suara raksasa. Semakin dekat saya perhatikan semakin jelas pohon itu bergoyang, suara ber-DEHEM semakin kuat. Tinggal beberapa langkah lagi, dan saya lihat ada bayangan berkelebat hitam, tangannya yang panjang menggapai ke arahku. Tepat di atas kepala saya, tangan yang panjang berbulu kasar itu mencengkram tengkukku. Saya menjerit sekuat-kuatnya. Sesudah itu saya tidak tahu apa-apa lagi.
         Besok pagi-pagi, saya tergeletak lemas, di rumah Pak Burhan Kepala Desa kami.
            “Tenang Pil! Sebentar lagi orang tuamu akan datang kemari”. “Seseorang sudah saya utus untuk memanggilnya.”
Saya tidak dapat berkata sepatahpun, karena tubuhku lemas seolah-olah tidak ada tulangnya sama sekali. Untung saya di selamatkan oleh Pak Burhan, beliau Kepala Desa kami. Pak Burhan orangnya sangat baik. Saya di temukannya tergeletak pingsan di jalan. Sewaktu beliau pulang dari pengajian rutin setiap malam Jum’at, yang di laksanakan di desa tetangga.
         Sejak kejadian itu saya tidak mau lagi pergi ke luar desa pada malam hari. Saya selalu tekun di rumah saja. Prestasiku amat baik, karena tiap tahun saya menjadi juara kelas. Beberapa kali saya mengikuti lomba cerdas tangkas mewakili sekolah, dan selalu mendapat juara. Tidak sedikit piala dan piagam yang saya dapatkan.
         Setelah tamat dari Sekolah Menengah Pertama saya mendapat kesempatan melanjutkan pelajaran di salah satu SMA faforit di kota ini. Dan saya selalu mendapat beasiswa. Dengan Prestasi yang gemilang saya di kirim untuk melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi di Ibu Kota Negara. Setelah tamat, di kirim lagi ke luar negeri untuk mendapatkan gelar Magister. Biaya semua di tanggung oleh negara. Setelah selesai S2 saya di tugaskan pada Kantor Pusat Penelitian dan Pengembangan di Ibu Kota Negara.
         Dua tahun saya kerja di sana, saya di kirim lagi untuk belajar ke Amerika Serikat untuk mengambil pendidikan S3. Dan saya mendapat gelar Doctor. Hingga saat ini saya bekerja di kantor LITBANG Pusat di Ibu Kota Negara.
            “ Wah…, Tidak  terasa hari semakin sore, Bapak harus cepat-cepat pulang !”
Bapak DR Kumpilman beriri seraya mengusap kepala kami satu persatu.
            “ Kalian harus rajin-rajin belajar, semoga nanti sukses seperti si- KUMPIL!”
            Kemudian berlalu meninggalkan kami berempat yang masih terdiam.

Karya   : Havis
Editing : Beben Kurdiono







 NAMA                      : HAVIS NOVANDA
 ALAMAT                : PMT. GUBERNUR RW 05 RT 25 NO. 16  KEC. MUARA   BANGKAHULU KOTA   BENGKULU
 ASAL SEKOLAH    : SMP NEGERI 11 KOTA BENGKULU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar